Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

JIWANGGA DAN KAWAN

Jiwangga dan Kawan (bertemu manusia-manusia naif kekeliruan)             Menerka-nerka sesuatu dalam pikiran orang lain adalah kegiatan setiap orang, namun tidak semua orang dapat menjelaskan dengan tepat apa yang ada dalam pemikiran orang lain. Rupanya Jiwangga memiliki beberapa koreksi mendalam tentang suatu hal yang ia sukai, namun yang harus ia koreksi adalah perasaan sakit hati masa lalu yang belum ia tinggalkan sepenuhnya.             Beberapa kualitas yang berpihak padanya menciptakan suatu ideologi dan muncul ke permukaan pergaulan rekan sosialnya sebagai sesuatu yang ambigu.     Jiwangga mulai terbiasa hidup di tengah pergumulan para serdadu antidisiplin, di tengah itu semua dia mengingat misi awalnya untuk memiliki kekasih sesuai harapannya sejak masa pencarian kepercayaan.             Jiwangga kini dihadapkan dengan banyak sekali penampakan ngeri dari secuil riwayat pergaulan kehidupannya, dia juga harus menghidupkan kembali jiwanya yang lama kosong, kadang terbesi

SERDADU

Serdadu (pasukan anti disiplin dari pelbagai ranah kehidupan)             Optimis, optimis, optimis, kata salah seorang pemimpin menyerukan semangatnya untuk anak buah yang sudah di ambang padam. Sekitar pukul 11.00 WIB Jiwangga terbangun, dia tidak ingat lagi pukul berapa ia tidur, tiba-tiba sinar dari celah jendela itu menyilaukan mataku. Kaligrafi yang dibuat sudah tidak ada lagi, sebuah amplop putih bertuliskan namanya tergeletak di atas meja berisikan uang tunai sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Hari ini Jiwangga merasakan kelegaan, setidaknya dengan uang ini dia bisa menyambung hidup selama beberapa hari ke depan. Jiwangga segera mencari kakek tua yang menemuinya tadi malam berniat ingin menyampaikan terimakasih. Berjalan sepanjang lorong pesantren sambil mengintip seluruh ruangan-ruangan yang ada disana namun tidak ditemukannya sosok kakek itu. Jiwangga menanyakannya kepada salah satu santri yang kebetulan saling berpapasan “mas, lihat Kakek-kakek tua yang tin

ADA APA APRIL

Ada Apa April? (di antara merasa atau memikir)             Besok atau lusa, sama sekali tak bisa kuperkirakan dengan tepat, tapi aku selalu merasakan belum mendekati kematian, hanya tersenyum mengingat peristiwa yang lalu. Ini hanya menjadi rahasia antara perasaan dan pemikiran yang dalam. Harian penuh kesusahan, hari ini Jiwangga menerima kabar buruk, dia tidak diterima kerja, hari ini juga uangnya benar-benar sudah habis. Bagaimana lagi menyambung hidup? dia memutuskan untuk mengemis, atau pergi keluar menjadi kacung. Penampilannya memang pantas menjadi pengemis, kurus kering dengan baju kusam, duduk di pinggir jalan keramaian sambil menengadahkan tangan. Sebuah ironi, tapi demi keberlangsungan raganya, termasuk pencopet yang dilihatnya menyelinap di antara keramaian dengan piawai mengambil dompet target, pun tanpa diketahui satu pasang mata, dibiarkan itu terjadi, dia menganggapnya sebagai kawan seperjuangan. Sudah 5 jam dari siang hingga menjelang magrib, diam di tempat

KEPERCAYAAN JIWANGGA

Kepercayaan Jiwangga (Sandiwara Bintang-bintang di langit)             Hai, orang-orang beragama, kalian sebut aku ini apa? yang tanpa agama bisa hidup dan bisa makan. Aku maklum karena kita dalam spesies yang sama. Bisakah kalian merasakan pola pikir seperti ini. Jika kalian beragama, tolong jawab, apakah tidak punya kegiatan setiap hari untuk menyembah dan berdoa kepadaNya juga salah? sedang pikiranku ini berasal dari kehendakNya bukan? Apa ini sebuah kejahatan? Aku merasa kejahatan hanyalah disaat kita menyakiti sesama manusia.             Rohmani sudah aman bersama Jiwangga, dibawanya dia ke suatu tempat yang memungkinkan untuk menceritakan permasalahannya, di pinggir danau dekat Taman Kota, Jiwangga akan mencoba berlaku bijaksana mendengarkan cerita yang ingin dia sampaikan. Dia memang cantik tapi tak mengalahkan pesona kekasihnya Gustina yang sebentar lagi resmi mengikat janji suci menjadi seorang biarawati. Sore itu pukul 16.00, Jiwangga berusaha membuatnya tenang, sep

KEBERMAKNAAN JIWANGGA

Kebermaknaan Jiwangga (Hari pertama di Ibukota)             Gila? Tidak, aku tidak gila. Apakah yang kau sebut gila ketika aku benar-benar sedang memperjuangkan mutiara? Ini bukan cobaan untuk pribadi Gustina ataupun Jiwangga, tapi cobaan untuk hubungan yang ingin kami jalin, dan kami harus menghadapinya. Aku ingin sederajat dengan kepribadiannya. Dia punya Tuhan dan aku punya siapa? Dia kekasih Tuhan, dan aku kekasih siapa?             Ditinggalkannya semua lukisan di bilik itu, hanya membawa pakaian seadanya, dan semua surat-surat penting untuk melamar kerja, berpenampilan lusuh dan kumuh memang sudah menjadi ciri khas yang melekat pada seorang Jiwangga, ia tidak terampil bergaya ala masa kini, jiwa dan raganya sudah tidak terurus lagi. Pukul 04.00 pagi Jiwangga sampai di Ibukota, masjid yang bertuliskan Masjid Ulul Albab di pintu gerbang masuknya   menjadi tempat persinggahan pertamanya, bukan untuk sembahyang tapi untuk beristirahat seusai jamaah sholat subuh agar terhind

GUSTINA

Gustina (Meraih Kekasih)             Menjalin hubungan bersama adalah pembuktian manusia untuk hidup dalam keharmonisan. Memadu gula kan cairan air mata, membumbu halus butiran permasalahan dan memasaknya menjadi hidangan kebahagiaan, di telan dengan penuh kenikmatan membekas untuk sementara waktu kemudian kembali menjadi batu.             “Hai, kekasih, berjalanlah kemari menuju bilik kecil, aku yakin kau tak mau, oleh sebab itulah aku menyuruhmu setiap hari dengan canda, tak ujung perubahan kudapat, engkau selalu punya cara untuk memanjakan mataku dengan pergi keluar menikmati keramaian. Keramaian yang dulu kubenci perlahan mulai memandangku tak sebelah mata lagi.” ketika senggang dalam peristirahatannya menyelesaikan pesanan lukisan Jiwangga menulis rangkaian kata itu pada sebuah buku catatan kecil yang disimpannya dibawal bantal bercorak liur.             Usai hari ini mengawali tahun baru bersama kekasihnya dalam bayangan, malam ini Jiwangga ingin melukis saja. Karya l