JIWANGGA DAN KAWAN
Jiwangga dan Kawan
(bertemu manusia-manusia naif
kekeliruan)
Menerka-nerka sesuatu dalam pikiran
orang lain adalah kegiatan setiap orang, namun tidak semua orang dapat
menjelaskan dengan tepat apa yang ada dalam pemikiran orang lain. Rupanya Jiwangga
memiliki beberapa koreksi mendalam tentang suatu hal yang ia sukai, namun yang
harus ia koreksi adalah perasaan sakit hati masa lalu yang belum ia tinggalkan
sepenuhnya.
Beberapa kualitas yang berpihak
padanya menciptakan suatu ideologi dan muncul ke permukaan pergaulan rekan
sosialnya sebagai sesuatu yang ambigu. Jiwangga mulai terbiasa hidup di tengah pergumulan
para serdadu antidisiplin, di tengah itu semua dia mengingat misi awalnya untuk
memiliki kekasih sesuai harapannya sejak masa pencarian kepercayaan.
Jiwangga kini dihadapkan dengan
banyak sekali penampakan ngeri dari secuil riwayat pergaulan kehidupannya, dia
juga harus menghidupkan kembali jiwanya yang lama kosong, kadang terbesit dalam
hatinya untuk memutuskan hubungan dengan semua urusan di muka bumi. Namun, dia
selalu tertatih melalui berbagai hal yang ia temui bahwasannya masih banyak
kehidupan yang lebih buruk dari dirinya. Atas dasar itu Jiwangga mulai
memikirkan susunan kehidupannya, tentang untuk apa dia berada di sebuah situasi
yang pada masanya berubah-ubah.
Ketika terbangun dari tidurnya yang
kini sudah berganti siklus secara normal, artinya ia sudah mulai bisa menikmati
tidur malam dan mulai sering merasakan bangun pagi, ia mengambil handuk dari
kumpulan cantelan baju yang tertumpuk menguntit di belakang pintu bilik
kamarnya, berjalan menuju kamar mandi di pojokan rerentetan pintu kamar rekan
serdadu antidisiplinnya dengan berbagai pemandangan, yang ia lewati dengan mata
sayu masih mengantuk.
Jiwangga mulai mengawali harinya
dengan melukis, sesuai harapannya kemarin ia ingin kembali mendapatkan
penghasilan dari lukisannya. Lukisan pertama yang ia buat di kota Jakarta ini
adalah lukisan pemandangan urban bergaya vintage,
rencananya ia akan menjual karya-karyanya melalui media sosial yang baru-baru
ini ia buat, pun juga ia masih mencari relasi untuk mengetahui cara jual
menjual lukisan di lapak dagang Kota Tua, Jakarta Barat.
Waktu
memang cepat berlalu, tak terasa matahari sudah berpamit dari pertemuan singkat
kanvas dan kuas. Jiwangga merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis di kamarnya
yang sempit. Semilir angin senja menghantarkannya ke alam mimpi, disana ia
bertemu dengan Gustina, gadis pujaan hatinya ketika masih tinggal di Kota Sejuta Bunga, ia melihat
Gustina memakai baju panjang dengan bawahan yang semuanya serba putih
menari-nari di tengah belantara gurun dan rumput ilalang sambil tersenyum
merekah ke arahnya. Namun, ketika ia mencoba menghampiri Gustina, sosoknya
semakin menghilang dari pandangannya. Semakin Jiwangga mendekat, semakin jauh
dan hilang sosok wanita yang menjerat hatinya itu. Beberapa saat kemudian
muncul seorang wanita memanggil namanya keras-keras “Jiwangga…. Jiwangga?” dengan nada tengak, sekejap hal itu membuat
Jiwangga terbangun dari mimpinya yang hampir indah.
Suara itu berasal dari penjual nasi
yang sering lewat dan menjadi langganan
para penghuni bilik-bilik Bang Tohir. “Jiwangga,
bungkus makan apa? Tapi jangan ngutang seperti kawanmu yang lain” kata
penjual nasi itu sambil tertawa kecil di kerumuni para serdadu antidisiplin
yang selalu terperangah bila melihat gadis muda yang berpakaian seksi. Gadis
muda yang seksi itu selalu laris dalam berjualan, tentu saja berkat kemolekkan
tubuhnya dan parasnya yang lumayan cantik membuat banyak laki-laki mengantri menjadi
pelanggan setianya.
Kemunculan sosok Jiwangga dalam
sekumpulan serdadu antidisiplin itu ternyata mampu menarik perhatian si gadis
muda seksi penjual nasi keliling kompleks. Namun, Jiwangga tidak terlalu
menggubrisnya, “Ya.. aku bungkus dengan
lauk telur dadar, tolong diberi sambal yang banyak. Aku terakhir saja,
dahulukan yang sudah mengantri” kata Jiwangga tanpa bernada ramah dari
dalam biliknya. Nampaknya, gadis penjual nasi itu merusak suasana hati Jiwangga
karena sudah memotong mimpi indahnya. Gadis itupun mengingat pesan Jiwangga sementara
dia melayani yang lain, kadang ada laki-laki memanfaatkan kesempatan untuk
memegang bagian tubuhnya namun selalu
gagal karena gadis seksi itu ternyata punya cara jitu menghadapi
pelecehan-pelecehan seksual meskipun memakai pakaian seksi. Apa kalian
penasaran dengan caranya?
----------------------------------
Gadis penjual nasi keliling kompleks
itu memiliki nama yang cukup mudah
diucapkan, nama lengkapnya Pijar Hambelanusa, tapi sangat populer dipanggil Ijah tak banyak orang tahu
nama panjangnya yang apik, pun tak ada yang tahu bahwa dulunya Ijah adalah anak
dari pasangan sukses yang berprofesi sebagai wakil rakyat, semasa kecil dia
hidup dalam keluarga berkelimang harta, namun suatu hari peristiwa mengerikan
terjadi ketika orangtuanya mengalami kecelakaan maut akibat pembunuhan
berencana oleh seseorang yang sangat iri dan menyimpan dendam atas kekalahannya
dalam pemilu 1999. Peristiwa itu terjadi ketika Ijah masih berusia 4 tahun.
Setelah
orangtuanya tiada, paman Ijah mencari-cari kesempatan agar ia mendapatkan hak
atas kepengurusan rumah, properti dan harta
lain-lain dari orangtua Ijah. Berhubung usia Ijah masih sangat kecil dan
tidak cukup mengerti hal-hal semacam itu, maka mulai saat itu Ijah tinggal
bersama paman dan juga bibinya di rumahnya yang besar nan megah. Memang pada
awalnya, paman Ijah bersikap baik dan lembut kepadanya, tetapi lama-kelamaan semua dikalahkan oleh kepuasan yang semakin
menjadi-jadi, setiap hari paman Ijah selalu berpesta dan sering berfoya-foya,
sedangkan bibinya tidak pernah absen berbelanja di mal. Hal itulah
penampakan-penampakan yang terjadi setelah Ijah kehilangan orangtuanya, Ijah
kecil sangat kesepian dan selalu bersedih hati, dahulu orangtuanya selalu
memberi perhatian kepadanya, namun sekarang dia hanya seperti patung berjalan.
Dua
belas tahun kemudian, usai tamat SMA - di kamarnya yang bernuansa serba putih
dengan pernak-pernik merpati bergantungan di atas langit-langit dinding tempat
tidurnya yang empuk, ia mengingat kenangan semasa orangtuanya masih hidup kamar
itu dihias bersama-sama dengan ayah ibunya sambil tertawa ria. Namun, semua
yang dipikirnya tinggal kenangan, hanya masa lalu yang tidak dapat akan terjadi
kembali. Terbesit dalam hatinya, ia sudah bosan hidup di rumah yang tiada nyawa
lagi. Suatu malam dengan pemandangan bulan purnama yang dingin, ia bertekad
untuk kabur dari rumahnya berniat untuk mencari kehidupannya yang hilang.
Sebelum
pergi, Ijah berhasil mencuri barang-barang berharga seperti emas dan uang dari
kamar paman bibinya, ya sebenarnya itu memang barang milik ayah ibunya dahulu.
Ia berhasil keluar dari rumahnya yang tidak lagi menjadi tempat yang patut
dirindukan pada malam purnama itu.
Ijah
yang berusia enam belas tahun mendapat inspirasi dari sebuah artikel yang baru
saja ia baca - untuk melarikan diri ke sebuah desa yang terletak di Kabupaten
Kudus, Jawa Tengah, desa itu bernama Rahtawu. Desa Rahtawu menyimpan daya tarik
tersendiri bagi Ijah, karena ia sangat menyukai hal-hal mistis ditambah lagi
kepekaannya terhadap sesuatu yang tak kasat mata.
Perjalanan
ia tempuh dengan angkutan kota kemudian beralih ke angkutan desa, selama
delapan jam menempuh perjalanan dari kota menuju Desa Rahtawu ia sama sekali
tidak merasa bosan, ia bahagia berhasil melepaskan diri dari kepenatan hidup.
Sesampainya di Desa Rahtawu pukul 08.00 WIB (pagi), ia disambut dengan beberapa
warga yang saling berpapasan dengannya tanpa ekspresi wajah yang mencurigakan,
sempat merasa bingung dan semakin penasaran karena dalam pikirannya ia akan
menemukan banyak orang-orang aneh di Desa Rahtawu. Raut wajah Ijah sangat
bahagia dan berseri-seri memandangi pemandangan desa yang begitu mengagumkan,
kepalanya seketika menjadi dingin, udara segar berulangkali di kembang
kempiskan dari hidungnya.
Setelah
berjalan sekitar 1 kilometer dari gerbang “Selamat Datang di Desa Rahtawu”, ia
bertemu dengan seorang wanita tua yang berwajah ramah “Selamat Pagi, Mbah?” sapanya. “Nggih,
nggih nggih… pripun nduk, cah ayu?” jawab wanita tua itu dengan agak
terbata-bata. Nampaknya Mbah yang ditemui hanya bisa berbahasa jawa saja, tapi
mengerti bahasa indonesia, pun Ijah juga mengerti bahasa Jawa, namun tidak banyak bisa menyampaikannya, meski
lama hidup di kota – mayoritas keluarganya adalah orang dari daerah yang biasa
berbicara bahasa jawa. “Mbah sinten nggih
niki?. “ooo… kula Mbah Katinah nduk, pripun, kadose sanes tiyang ngriki?“.“Inggih
Mbah, saya Pijar, mau menanyakan apakah di desa ini ada rumah yang disewakan
atau ada warga yang rumahnya bisa di tumpangi untuk tempat tinggal Mbah?” Ijah
bertanya sambil membungkukkan badannya yang tinggi semampai, sebagai sikap
menghormati Mbah Katinah. “nggih menawi
griya tumpangan nggih kudu sanjang rumiyen kaliyan Pak RT, banjur dipadosaken
warga ingkang pundi ingkang saged nampi. Kula niki piyambakan wonten gubug,
nggih saged mawon nampi genduk cah ayu, nanging keadaane nggih sakwontene,
namung gubug pinggir sawah mrika”. Mendengar hal itu, Ijah merasa sangat
senang, ia merasa disambut gembira oleh penduduk setempat. “Tidak apa-apa Mbah, saya tinggal di rumah Mbah Katinah saja ya?” jawab
Ijah. “Nggih.. nggih, menawi mekaten
monggo kulo aturaken Mbak Pijar pinarak rumiyen ten daleme Pak RT, supados
saged lapor wonten warga saking njawi ajeng nginep”. Mereka berjalan
bersama menyusuri persawahan dan kebun penduduk yang asri menuju ke kediaman
Pak RT.
Setelah
semua beres, Ijah alias Pijar
Hambelanusa mulai tinggal di rumah Mbah Katinah, benar yang dikatakan sejak
awal, rumah Mbah Katinah memang sangat sederhana, hanya terdiri dari ruang
utama, dua kamar dan dapur (pawon) tradisional
yang masih menggunakan kayu bakar dan
beralas tanah, terasa sedikit lembab ketika masih pagi. Tapi, Ijah tak
mempermasalahkan hal itu, sifat-sifatnya yang berbudi baik, rendah hati dan
tidak sombong turun dari almarhum ayahnya.
Mulai
hari itu, Mbah Katinah merasa sangat bahagia, ia terlihat sangat merindukan
cucunya yang lama dinanti-nanti, maka dari itulah setibanya Ijah di desa
Rahtawu ia langsung sekonyong-konyong menawarkan tinggal di rumahnya. Sebagai
timbal balik, Ijah memperlakukan Mbah Katinah
dengan sangat baik. Setiap pagi selalu membuatkan teh hangat, menyiapkan
sarapan dan membersihkan rumah. Kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan
sangat luar biasa, baru beberapa hari tinggal di rumah Mbah Katinah, Ijah sudah
terlampau mahir menggunakan peralatan-peralatan pawon, seperti menyalakan api
dengan kayu, ngliwet nasi, juga
memetik sampai memasak sayur mayur yang terlebih dulu harus dicari di kebun. Ia
juga pandai mengkreasikan bumbu-bumbu dapur. Semua yang bisa ia lakukan hari
itu adalah hasil belajar dan pengamatannya dari Mbah Katinah. Kepandaian
beradaptasi membuat Ijah tidak perlu lama-lama nyaris sudah menjadi gadis desa
sejati, bahkan melebihi kemampuan yang seharusnya dimiliki gadis-gadis desa.
______________________________________
“Mas
Jiwangga?” suara merdu Ijah terdengar dari dalam kamarku “Iya, tunggu tunggu
tunggu” aku tergesa keluar sambil merapikan celanaku yang compang-camping sehabis
kolat-kolet menikmati kemalasan di kasur melihat jam dinding yang sudah
menunjukkan pukul 10.44 WIB, padahal semalam aku ingin secepatnya bangun dan
mencari kepingan nafkah, ya tetap saja jiwa melankoli ini sulit dihindari. “Mas
Jiwangga ini nasi bungkusnya sudah siap” Ijah memberikan nasi bungkus itu
kepadaku. Aku melagak seperti lelaki sejati yang terlihat tidak tertarik dengan
kemolekkan tubuh wanita, walau sesungguhnya itu sulit. Dagangan Ijah selalu
tidak mau kubayar meski aku sudah bersikeras membayarnya, dan aku tahu dia
menyukaiku, juga selama ini dia selalu penuh perhatian kepadaku. “Terima kasih”
kataku. “Tidak apa Mas Jiwangga, bolehkah saya menyampaikan sesuatu?” tanya
ijah sambil menghela nafas dengan wajahnya yang kian memerah karena malu,
“silakan Ijah, apa yang ingin kamu sampaikan kepadaku?”. “Apa saya boleh
mengenalmu lebih jauh?”.
Setelah
pertanyaan itu disampaikan kepadaku, aku segera menutup pintu kamarku, aku
membuatnya kaget dan ia diliputi rasa kecewa bercampur malu, namun aku tidak
habis pikir, ia berani merendahkan dirinya dihadapanku. Meski aku juga memiliki
nafsu dengannya, bukan berarti aku bisa mencintainya seperti apa yang
diharapkan. Aku tidak ingin menyakiti hatinya lebih dalam. Penolakan sejak awal
memang sangat sakit, tetapi jika sudah terlalu dalam mungkin perawatannya akan
berbeda dan butuh waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya. Semoga Ijah
mengerti yang kulakukan padanya adalah pilihan terbaik. Sejak saat itu, tak
kulihat lagi Ijah berjualan di lingkungan kami.
Sekarang teman-teman mulai merasa
kehilangan Ijah, yang setiap hari biasanya datang menjajakkan nasi bungkus
sambil tersenyum dan menyapa kami dengan ramah tanpa rasa takut ataupun
merendahkan profesi kami. Kini, suara Ijah yang merdu sudah lama tidak
terdengar, kami juga jadi jarang sarapan.
Jakarta,
Metropolitan
18 April 2017
Oh...,
BalasHapus