KEBERMAKNAAN JIWANGGA


Kebermaknaan Jiwangga
(Hari pertama di Ibukota)

            Gila? Tidak, aku tidak gila. Apakah yang kau sebut gila ketika aku benar-benar sedang memperjuangkan mutiara? Ini bukan cobaan untuk pribadi Gustina ataupun Jiwangga, tapi cobaan untuk hubungan yang ingin kami jalin, dan kami harus menghadapinya. Aku ingin sederajat dengan kepribadiannya. Dia punya Tuhan dan aku punya siapa? Dia kekasih Tuhan, dan aku kekasih siapa?
            Ditinggalkannya semua lukisan di bilik itu, hanya membawa pakaian seadanya, dan semua surat-surat penting untuk melamar kerja, berpenampilan lusuh dan kumuh memang sudah menjadi ciri khas yang melekat pada seorang Jiwangga, ia tidak terampil bergaya ala masa kini, jiwa dan raganya sudah tidak terurus lagi. Pukul 04.00 pagi Jiwangga sampai di Ibukota, masjid yang bertuliskan Masjid Ulul Albab di pintu gerbang masuknya  menjadi tempat persinggahan pertamanya, bukan untuk sembahyang tapi untuk beristirahat seusai jamaah sholat subuh agar terhindar dari pengusiran. Satu jam kemudian firasat buruk datang, ternyata benar dugaannya, dia diusir oleh satpam. Sisa uangnya kini hanya bisa untuk sekadar menyewa tempat tinggal dan makan selama tiga hari, secepatnya Jiwangga harus mendapatkan pekerjaan di Ibukota.
            Siang hari ini Jiwangga bertemu dengan seorang wanita yang terlihat gelisah, dirasakannya kesusahan dari sorot wajahnya. Mereka dipertemukan di dalam angkutan umum menuju tempat melamar kerja, kebetulan mereka melamar pekerjaan di posisi yang sama yaitu karyawan toko retail. Mereka saling berkomunikasi meskipun hanya sepatah dua kata, untuk kepentingan informasi pekerjaan, tapi raut wajahnya selalu berubah-ubah, kadang terlihat baik, kadang masam tak berasa. Namanya Rohmani, berusia 22 tahun, berkerudung panjang, terlihat sangat berharap untuk diterima kerja. Dia mendapat urutan pertama untuk wawancara, tiba setelahnya giliran Jiwangga memasuki ruangan untuk memulai wawancara kerja, ini adalah pertama kalinya Jiwangga melamar pekerjaan, tidak ada jawaban cerdas yang keluar dari mulutnya.
            Usai wawancara dilihatnya Rohmani masih duduk di ruang tunggu, memandang dinding kelabu, matanya tak berkedip sedikitpun. Sapa dia dengan senyuman, namun dibalas dengan tatapan tajam seakan menyuruh Jiwangga untuk segera sirna dari pandangannya. Jiwangga mulai penasaran dengan gerak-geriknya, Rohmani tampak begitu kacau. Diam-diam Jiwangga mengikutinya dari belakang ketika ia berjalan pulang, tapi tak ujung rumah yang didapat, ia berjalan menuju jembatan yang sepi diatas sungai yang curam. Jiwangga mulai khawathir, Rohmani memutuskan untuk mengambil jalan yang salah, didekatinya dengan hati-hati sebelum pikirannya mengalahkan semuanya. Terbentang sepanjang jembatan yang hanya ada Jiwangga melihatnya resah, nuansa peradilan sudah diperkirakan muncul ketika Jiwangga mencegahnya; “Kenapa kau berdiri disitu Rohmani ?” kalimat pertama yang diteriakkan Jiwangga dengan hati yang was-was. Rohmani menengok “Kenapa kamu mengikutiku? Jangan ikut campur”, wajahnya sudah penuh air mata, dengan sedikit pengalaman menghadapi perempuan, seketika Jiwangga mengingat kalimat Gustina yang diucapkan padaku waktu dia merasa tidak berarti, kemudian ia pakai itu untuk menjawab “Ya, ini cara Tuhan menolongmu, melalui aku Rohmani”. “Omong Kosong” sautnya. Suasana semakin panas, Rohmani ingin melompat dari jembatan yang curam, “Rohmani, aku tahu kamu sedang dalam keadaan yang buruk, tapi ada aku disini yang mengikutimu sepanjang jalan tadi, itu artinya kamu adalah pilihan Tuhan yang diselamatkan melalui perantaraanku. Apa masalahmu sebenarnya? Ceritakanlah padaku Rohmani”. Rohmani mulai berfikir sejenak “Aku hanya ingin mengakhiri hidupku, aku dibuang, dan tidak berguna.” Dia melompat, tapi tangannya berhasil diraih, “ayolah Rohmani, jangan lakukan ini, kau cantik dan berhijab, aku jelek dan… atheis, yang berani menyebut Tuhan untukmu agar kamu tidak melakukan ini” Rohmani melihatku “Ayo Rohmani, kembali..” akhirnya Rohmani berhasil diselamatkan.
            Nyawa, adalah pusaka raga yang meniup udara. Bersemayam dalam tubuh ini, menggugat nafsu duniawi, menagih janji sorgawi. Untuk apa kau didalam tubuh ini? Apakah untuk cinta atau untuk benci? Berarti atau diabaikan? Untuk membunuh atau dibunuh? Tolong kedalikan tubuh ini, dan aku akan bermakna.
Jakarta, Metropolitan
Akhir Maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROSPEKSI

ADA APA APRIL

DILEMATIS