ADA APA APRIL
Ada Apa April?
(di antara merasa atau memikir)
Besok atau lusa, sama sekali tak
bisa kuperkirakan dengan tepat, tapi aku selalu merasakan belum mendekati
kematian, hanya tersenyum mengingat peristiwa yang lalu. Ini hanya menjadi
rahasia antara perasaan dan pemikiran yang dalam.
Harian
penuh kesusahan, hari ini Jiwangga menerima kabar buruk, dia tidak diterima
kerja, hari ini juga uangnya benar-benar sudah habis. Bagaimana lagi menyambung
hidup? dia memutuskan untuk mengemis, atau pergi keluar menjadi kacung.
Penampilannya
memang pantas menjadi pengemis, kurus kering dengan baju kusam, duduk di
pinggir jalan keramaian sambil menengadahkan tangan. Sebuah ironi, tapi demi
keberlangsungan raganya, termasuk pencopet yang dilihatnya menyelinap di antara
keramaian dengan piawai mengambil dompet target, pun tanpa diketahui satu
pasang mata, dibiarkan itu terjadi, dia menganggapnya sebagai kawan
seperjuangan.
Sudah
5 jam dari siang hingga menjelang magrib, diam di tempat ini, Jiwangga hanya
mendapat sepuluh ribu rupiah dari koin koin ratusan yang terkumpul. Dia
menyesal mengapa meninggalkan perlengkapan melukisnya di bilik itu, sedang
disini mencari modal untuk membelinya saja sangat susah. Mengakhiri mengemis
hari ini, dengan uang sepuluh ribu yang dirasa bisa untuk membeli makan, di
sebuah warung kecil biasa disebut angkringan,
disitu banyak ditemui berbagai macam laki-laki dengan latar belakang pekerjaan
berbeda-beda, ada tukang becak, tukang ojek, tukang angkot, kuli bangunan, dan
masih banyak lagi, memang ini adalah jam pulang kerja, jadi tak heran jika
mereka berkumpul di warung ini untuk sekadar menunda lapar atau istirahat
sejenak sebelum pulang ke rumah masing-masing. Mereka terlihat guyub, setiap
bahasan yang dihadirkan selalu membawa tawa, meskipun hal-hal yang tidak
penting sekalipun. Sementara Jiwangga menghabiskan segelas kopi hitam dan
sebungkus nasi, kadang sebagian dari mereka melihatnya dan memancingnya untuk
turut serta dalam canda mereka, dia hanya tertawa-tawa kecil, meskipun itu
sangat lucu. Besok dan seterusnya mungkin dia akan kembali ke tempat itu untuk
mengakrabkan diri dengan mereka. Tak lama setelah warung mulai sepi, dan
Jiwangga masih tertahan oleh kopi hitamku, datang seorang kakek memakai pakaian
jubah putih panjang, dengan perawakan kurus dan bungkuk, berjenggot panjang,
serta memakai kacamata tebal duduk di
sebelah Jiwangga, memesan kopi hitam dan menyuruh Jiwangga untuk menemaninya. Lagipula
Jiwangga ingin segera beranjak dari sini, tapi ada sesuatu yang membuatnya
bersedia menemani, kakek itu mengingatkannya dengan almarhum Bapak Joko Samudra,
mungkin seumuran jika Bapak masih hidup. Suara, gerak-gerik, karakter, dan
tubuhnya mirip sekali. Kakek ini tak mengajaknya berbicara, ia hanya
meniup-niup kopinya sambil menghisap puting rokok racikan sendiri. “Mbah, saya pulang dulu ya?” niat pamit
karena sudah terlalu lama, kakek itu memegang tanganku “duduk dulu, duduk yang tenang..” katanya, dengan berat hati
Jiwangga kembali duduk “Mbah saya disini
sudah sejak tadi, jadi sekarang sudah waktunya pulang mbah, memangnya mbah mau
ada perlu apa? saya tunggu-tunggu juga tidak berbicara sedikitpun.” Kakek
ini kemudian bertanya seakan dia paranormal “kamu
sedang mecari pekerjaan?” “Iya, Mbah. Saya butuh uang untuk makan setiap hari
dan keperluan lainnya” saut Jiwangga. “Ikutlah
denganku, aku akan menyediakan pekerjaan yang layak bagimu, kamu juga akan
mendapat tempat tinggal gratis”.
Sedikit
tidak yakin, sambil memegang dahi Jiwangga berpikir sejenak, tanpa
sepengetahuannya kakek sudah berjalan dari angkringan, dia susuli langkahnya
yang tertatih, tak jauh dari angkringan itu, sekitar 200 meter kami sampai di
sebuah pelataran dengan gapura bertuliskan Pondok Pesantren Al-Ikhlas, disitu
Jiwangga mulai berpikir kalau sampai dia dijadikan santrinya dia ingin segera
kabur, “Mbah kenapa membawa saya ke sini
mbah? Mbah seorang Kyai?” tanya Jiwangga dengan panik. “Sudah, jangan terlalu keras suaramu, ini sudah malam. Ikuti saja, kamu
akan segera mendapat pekerjaan malam ini juga.” Jawabnya. Dia iyakan dengan
mengikuti langkahnya, diiringi suara mengaji yang bersautan sana-sini.
Sampai
di sebuah ruangan dengan meja besar dan alat tulis, kakek menyuruhku duduk, kemudian
bertanya “Nah, kita sudah sampai. Sejak
tadi, saya memperhatikanmu, kamu orang yang saya butuhkan saat ini, kamu adalah
seorang pelukis bukan?.” “Bagaimana Mbah bisa mengetahuinya?.” “sudah terlihat
dari tanganmu, saya kenal betul dengan kawan saya yang sudah meninggal, dulu dia pelukis disini, sama sepertimu
sekarang” katanya sambil tersenyum.
“Mbah saya bukan Islam,
dan..” kakek itu langsung menyela “e..ee..ee.. tidak masalah yang penting malam ini kau buatkan kaligrafi
yang bagus dari contoh yang sudah ada, untuk kenang-kenangan Uztad Ali yang
berkunjung kesini besok. Ini sudah saya siapkan peralatannya, silakan lakukan
pekerjaanmu, saya akan langsung memberi upah jika kamu bisa selesaikan malam
ini juga.” Kakek itu kemudian meninggalkan Jiwangga sendirian di ruang itu, dengan semangat upah dia langsung
mengerjakannya. Ini adalah kali pertama Jiwangga melukis kaligrafi, meskipun
tidak paham maknanya, tapi yang jauh lebih penting adalah keindahan, pikirnya.
Cerita
yang bertele-tele, pertanyaan ada apa di bulan April membuat Jiwangga apa
adanya, kembali bertemu dengan orang-orang aneh, namun masih beruntung tak
ditambah Rohmani.
Sulitnya
membedakan antara merasa dan memikir, keduanya hampir sama, saat
merasa aku memikir, saat memikir aku merasa. Begitu yang dirasakan dan pikirkan sekarang
adalah bagaimana Jiwangga bisa hidup mengalir seperti hari ini yang tiba-tiba
saja ditemui kakek yang memberikan pekerjaan padanya, ia harap ini terjadi berulang
kali sehingga upah yang didapatkan bisa untuk membeli perlengkapan lukis, dan
kembali lagi sebagai seniman.
Jakarta,
Metropolitan
2 April 2017
Komentar
Posting Komentar