GUSTINA
Gustina
(Meraih Kekasih)
Menjalin hubungan bersama adalah pembuktian
manusia untuk hidup dalam keharmonisan. Memadu gula kan cairan air mata,
membumbu halus butiran permasalahan dan memasaknya menjadi hidangan
kebahagiaan, di telan dengan penuh kenikmatan membekas untuk sementara waktu
kemudian kembali menjadi batu.
“Hai, kekasih, berjalanlah kemari
menuju bilik kecil, aku yakin kau tak mau, oleh sebab itulah aku menyuruhmu
setiap hari dengan canda, tak ujung perubahan kudapat, engkau selalu punya cara
untuk memanjakan mataku dengan pergi keluar menikmati keramaian. Keramaian yang
dulu kubenci perlahan mulai memandangku tak sebelah mata lagi.” ketika senggang
dalam peristirahatannya menyelesaikan pesanan lukisan Jiwangga menulis
rangkaian kata itu pada sebuah buku catatan kecil yang disimpannya dibawal
bantal bercorak liur.
Usai hari ini mengawali tahun baru bersama
kekasihnya dalam bayangan, malam ini Jiwangga ingin melukis saja. Karya lukis
Jiwangga memang bagus, bergaya realis semi naturalis, dulu dia pelukis tematik
yang banyak mengambil karakter binatang buas sebagai objek utamanya,
penggemarnya juga cukup banyak walaupun sering mati pasar karena banyaknya
selisih harga yang ditawar oleh konsumennya. Pada akhirnya dia memilih untuk
menjual atau membuka jasa lukis yang hanya sesuai permintaan konsumen, semacam
lukisan wajah, atau lukisan keluarga, hal itu untuk mengurangi polusi pikiran,
artinya dia tidak ingin menghasilkan karya dari pemikirannya sendiri dan
menjualnya dengan harga murah, oleh sebab itu dia hanya menggunakan jasanya
untuk memenuhi keinginan konsumen, dan yang perlu diketahui oleh konsumen
ketika menyuruhnya membuat lukisan orisinal adalah mereka juga sama halnya
membeli sebuah pemikiran.
Sampai
sekarang tak pernah dia pakai ijazah S1-nya untuk melamar kerja. Jiwangga tidak
bisa mempertanggungjawabkan skripsi buatan kawan yang dihargai senilai lima
juta rupiah, sedemikian mudahnya semua didapatkan dengan uang (dulu).
Melawan
kenyamanan, dan mulai mengabdi pada hasta karya sendiri. Setelah kesadaran itu
didapat, semua akan dengan mudah dijalani, kata cendekiawan, itu nikmat
ketika berbeda dengan yang lain, tanpa meniru. Kemurnian terasa seperti
membentangkan jalan menuju pemikiran ataupun keberhasilan yang terarah.
Merindukan fajar, malam ini Jiwangga
akan berusaha tidur lebih cepat untuk melepas rindu itu. Biarlah kuas-kuasnya
saling bercakap membicarakan tidurnya yang benar-benar malam, bukan pagi lagi.
Fajar, rindunya merasakan
kesejukanmu, rambatan sinar yang terakhir dilihat dua tahun lalu kembali menampakkan
diri. Benar sekali dia merasakan kerinduan itu. Matahari terbit, embun pagi,
kicauan burung, dan udara segar mendekapnya saat ini. Mereka mengingatkannya
pada suatu hal yang sednag dia cari, kepada siapa yang memberikan kerinduan ini
kepadanya. Ya.
Pagi ini kekasihnya memberikan
sedikit cerita tentang keluh kesah selama di Asrama tempatnya belajar menjadi
seorang Biarawati, tiba di ujung perbincangan dia bertanya pada Jiwangga“Jiwangga, saya lihat kamu tidak pernah
pergi ke masjid, dan tidak pernah juga berjumpa di gereja, apa kamu berdoa di
vihara?” jawab Jiwangga pada calon Biarawati itu“tidak, aku berdoa di rumah saja, Gustina”. “maaf Jiwangga, saya tidak
bermaksud menyudutkanmu, saya hanya ingin mengenalmu dengan baik” jawabnya
sambil tersenyum manis “Ya Gustina, tidak
masalah”. “Kalau begitu apa agamamu, Jiwangga?”. “Agamaku adalah seni, dan cara
berdoaku adalah melukis. Gustina, kau lihat lukisan yang kubuat hari ini?” ditunjukkan
padanya lukisan pemandangan alam setengah jadi “Ya, Jiwangga ini indah sekali, ayo cepat selesaikan, saya akan
membelinya untuk pajangan di Novisiat. Saya sangat menyukai semua lukisanmu,
kamu membuatnya dengan penuh perasaan”. “Doaku terkabul jika lukisan-lukisanku
terjual. Tapi yang satu ini, akan kuberikan padamu”. “Wah, terima kasih banyak
Jiwangga” dia tersenyum bahagia. Gustina tidak pernah memposisikan Jiwangga
sebagai orang yang berdosa atau sebagai domba yang hilang meski dia hidup tanpa
kepercayaan. Selalu pandai mencuri waktu, Gustina selalu menemui Jiwangga setiap
hari selepas ibadah pagi dari gereja.
Gustina
memang cantik dan manis, rambutnya yang hitam dan berkilau selalu diikat rapi,
dia gadis yang memiliki kecantikan sangat alami, dia gadis idaman Jiwangga
untuk hidup bersama. Hati Gustina memang baik, hingga ia tak merasa kebaikan
dan kelembutannya membuat Jiwangga jatuh hati, sejatuh-jatuhnya. Jiwanggapun
sudah mengartikan itu cinta, karena Gustina nampaknya juga merasakan cintanya,
dilihat dari perhatiannya pada Jiwangga, tak dibiarkannya Jiwangga berada dalam
kesusahan. Dalam hati, Jiwangga sangat menyayangkan jika Gustina harus
merelakan seluruh hidupnya untuk sesuatu yang menurutnya bukanlah hal yang
bagus dan menarik.
Kekasih Jiwangga adalah calon
Biarawati, dan apa yang dilakukan sekarang, baginya Jiwangga masuk dalam
orang-orang yang membutuhkan kebaikan, sedang Gustina hanya menjalankan
kewajibannya untuk menolong dan mengasihi sesama. Mawar pun berduri, tapi tetap
disukai. Meski Jiwangga tak percaya sepenuhnya bahwa Gustina tidak mencintainya
ketika dia menyatakan cinta pada gadis itu. Jiwangga bisa merasakan besaran cinta
Gustina yang tercurah kepadanya. Salahkah bila Jiwangga menginginkannya?
“Kasihku kau tampak gelisah dengan semua ini,
aku tahu kau akan berdebat dengan Tuhanmu atau doktrin yang kau anut sekarang.
Jangan lakukan itu terlalu sering, aku akan berusaha mencari jalan keluar.
Jangan ucapkan perpisahan atau tidak ingin berjumpa denganku. Tetaplah bersamaku.”
(Jiwangga mengalami kesedihan yang mendalam)
Setelah peristiwa mengungkap cinta,
kekasih Jiwangga tak pernah lagi datang kepadanya. Dia merasakan kegelisahan
dari hari ke hari, karena dia tahu Gustina juga ingin bersamanya. Jalan keluar
apa yang bisa membuat mereka bersama, sulit untuk memecahkannya.
Sedikit menyimak tentang tujuan
hidupnya, dan beberapa ajaran di dalamnya. Semakin disadari sulitnya jalan
untuk mereka bersama, walau dia tahu masih ada kesempatan untuk mendapatkannya
di masa sebelum dia menunaikan janji sehidup semati menjadi biarawati. Hatinya terus
bergulat dengan padamnya cinta, pada akhirnya keyakinanlah yang tak pernah
padam. Jiwangga selalu mengingat perkataan Bapak supaya dia selalu mencari
kebenaran yang paling benar diantara kebenaran yang ada.
Perasaan yang kacau selalu ada
setiap hari, Jiwangga hanya punya waktu satu tahun untuk bisa membawanya hidup
bersama. Hari ini dia putuskan untuk pergi dari Kota Sejuta Bunga ini, bukan
untuk melupakan kekasinya itu, tapi mencari sesuatu yang bisa merubah hatinya
agar mau hidup bersama dan mendampingi Jiwangga selamanya. Gustina, akan selalu
terpatri dalam hati menjadi tujuan hidupnya.
Magelang,
Kota Sejuta Bunga
Triwulan pertama 2017
Komentar
Posting Komentar