SERDADU


Serdadu
(pasukan anti disiplin dari pelbagai ranah kehidupan)
            Optimis, optimis, optimis, kata salah seorang pemimpin menyerukan semangatnya untuk anak buah yang sudah di ambang padam.
Sekitar pukul 11.00 WIB Jiwangga terbangun, dia tidak ingat lagi pukul berapa ia tidur, tiba-tiba sinar dari celah jendela itu menyilaukan mataku. Kaligrafi yang dibuat sudah tidak ada lagi, sebuah amplop putih bertuliskan namanya tergeletak di atas meja berisikan uang tunai sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Hari ini Jiwangga merasakan kelegaan, setidaknya dengan uang ini dia bisa menyambung hidup selama beberapa hari ke depan.
Jiwangga segera mencari kakek tua yang menemuinya tadi malam berniat ingin menyampaikan terimakasih. Berjalan sepanjang lorong pesantren sambil mengintip seluruh ruangan-ruangan yang ada disana namun tidak ditemukannya sosok kakek itu. Jiwangga menanyakannya kepada salah satu santri yang kebetulan saling berpapasan “mas, lihat Kakek-kakek tua yang tingginya sebahu saya, ada tahi lalat di ujung hidungnya, bersorban dan memakai tongkat?” “Oh, Kyai Saleh?” jawab santriwan berwajah sayu itu sambil mengacungkan jari telunjuknya “ya, ya itu mas. Sekarang dia ada dimana?” sahut Jiwangga dengan penuh harap “Beliau baru saja berangkat ke perbatasan kota mas, untuk mengisi kajian, kalau ada keperluan bisa kembali lagi kesini besok pagi mas” “Oh, begitu. Baik mas, terimakasih”. Nampaknya Jiwangga tidak bisa menemui Kyai Saleh sekarang juga.
Kyai Saleh sungguh membantunya waktu itu, Jiwangga tidak ingin menitipkan terimakasih, Jiwangga harus bertemu langsung dengan Kyai Saleh supaya jelas kesungguhan terimakasihnya. Siang hari sekitar pukul 13.00 WIB, ia kembali pulang ke kontrakan. Searah perjalanan pulang Jiwangga berniat untuk membeli peralatan melukis dari sebagian uang penghasilan kemarin, tapi dia hanya bisa bisa membeli satu kanvas, satu palet dan satu set cat minyak berisi dua belas warna dengan begitu dia bisa menyisihkan uang untuk kebutuhan makan beberapa hari kedepan.
Menjelang tengah malam, tepatnya pukul 22.00 WIB kawanan pemuda berjumlah empat orang, tiga diantaranya bertubuh kurus kering, yang satu lagi bertubuh kekar, wajah garang dan bertato, cukup menjelaskan sosok seorang preman, datang kepadanya sambil mengeteng botol-botol berisi miras, rupanya mereka melakukan hal itu sebagai sambutan kehadiran Jiwangga di kontrakan yang baru ditinggali selama 3 hari ini, Jiwangga-pun tak mau mengecewakan mereka, dipersilakan mereka masuk. Mereka menikmati malam bersama, dan saling berkenalan diselingi obrolan gadungan, obrolan nakal hingga obrolan kriminal.
Mereka bernama Joki, Beki, Tohir, dan Palo. Joki dan Beki adalah saudara kembar tanpa orangtua alias dibuang sejak bayi, mereka ditemukan di semak-semak dekat TPA sampah oleh bang Tohir yang kala itu masih berumur 21 tahun. Bang Tohir sendiri adalah seorang preman sedari kecil. Ia terpaksa melakukan tindakan-tindakan premanisme seperti memeras uang dari pedagang di pasar, menjadi kaki tangan bos besar untuk menaklukkan musuhnya, sampai berkelahi dengan sekelompok preman lainnya, hal itu ia lakukan karena dia juga bernasib sama seperti Joki dan Beki, bedanya Bang Tohir mengetahui alasan dibalik pembuangannya yaitu karena orangtua Bang Tohir adalah sepasang kekasih yang melahirkan anak (Bang Tohir) di luar nikah.
Orangtuanya sempat menjalani rumah tangga selama enam tahun dari pernikahan sirih setelah melahirkannya, masuk tahun ke tujuh Bapaknya tega meninggalkan Ibunya termasuk Bang Tohir karena tergoda wanita lain, sejak itu semuanya menjadi beban berat bagi Ibunya, depresi berkepanjangan, Bang Tohir juga terkena dampaknya, dia sering menjadi bahan pelampiasan sakit hati Ibunya melalui kekerasan fisik, dilempari benda-benda keras sampai dipukul-pukul dengan tangan. Masa kecil Bang Tohir tidak pernah bahagia, suatu hari Ibunya bersikap berberda dari yang biasanya kasar dan arogan, kini menjadi lembut dan sangat ramah, kemudian Ibunya menjanjikan akan mengajaknya pergi ke suatu tempat yang indah.
Pagi itu sekitar pukul 09.00 WIB mereka berangkat dari rumah di wilayah Tambun Bekasi Timur, Bang Tohir hanya menuruti kemauan Ibunya sambil menyembunyikan rasa penasaran yang berkecamuk dengan kepatuhan dan ketakutan, dia selalu begitu jika sedikit melawan kemauan Ibunya, takut dipukul dan dimarahi, hal itu membuat Bang Tohir kecil menjadi anak yang minder, pendiam dan penakut.  Bang Tohir merasa aneh karena baru kali ini Ibunya mengajaknya, tapi dia berusaha memikirkan tempat bagus seperti apa yang akan ditunjukkan oleh Ibunya.
Perjalanan rahasia Ibunya itu dimulai dari terminal Cibitung menuju ke arah timur, selama 2 jam awal perjalanan memasuki kawasan Jawa Tengah, Ibu Bang Tohir selalu mengelus rambut Tohir kecil yang gondrong tidak terurus dan belum pernah di cukur sejak tiga tahun belakang, penampilan Bang Tohir dari ujung kuku sampai ujung kepala sudah nampak sebagai seorang anak yang tidak terurus. Bang Tohir sangat merindukan kasih sayang, ia pun menikmati belaian lembut Ibunya kala itu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, hingga pada akhirnya Tohir kecil yang baru saja masuk usia tujuh tahun itu masuk dalam suasana nyaman dan terbawa tidur di pundak Ibunya yang tingginya pas untuk menyangga kepalanya.
Pijakan rem mendadak secara tiba-tiba dari sopir bus itu membangunkan Tohir kecil yang berhasil tidur pulas dengan kasih sayang palsu. Ia melihat disampingnya seorang perempuan paruh baya seusia Ibunya menatapnya dengan tatapan jijik, Tohir kecil mulai bingung melihat ke berbagai arah namun tidak melihat sosok Ibunya yang memiliki nama Titik Pangakir itu.
Beberapa saat kemudian, datang seorang kondektur berseragam biru gerau dengan rupa seperti tokoh serial drama India, kumis tebal, kulit cokelat, dan tatapan tajam, sekali bersuara penumpang akan otomatis patuh. Kondektur itu mendatangi Tohir Kecil “mana tiket?” tanyanya sambil mengatungkan tangan ke arah Tohir Kecil, tapi Tohir hanya membalasnya dengan tatapan memelas serba kebingunan “tadi saya bersama Ibu saya, tiketnya di bawa Ibu saya Pak” jawab Tohir lirih. “Ibumu yang mana?” kondektur itu bertanya kembali sambil membuka lembar per lembar bukti tiket yang sudah terkumpul dari penumpang sebelumnya “jelas-jelas kamu duduk disini dan belum menyerahkan tiket” imbuhnya lagi. Ada salah satu penumpang perempuan yang duduk sejajar dengan Tohir kecil bersimpati dengan hal itu “Pak, tadi saya melihat Ibu-ibu yang duduk bersama anak itu, tapi dia sudah turun di terminal Penggaron”. Kondektur mempertimbangkan hal itu kemudian bertanya kepada Tohir kecil “kenapa kamu tidak ikut turun, dan kenapa Ibumu tidak membawamu turun?” “saya tidak tahu Pak, tadi saya ketiduran” jawab Tohir. “terpaksa kamu saya turunkan disini, kamu bukan tanggung jawab saya”. Suansana yang genting bagi Bang Tohir kecil saat itu tidak ada satupun yang membelanya. Dia turun dan menangis tersedu-sedu, perasaannya hancur begitu mengetahui rencana manis Ibunya yang ternyata hanya menjebaknya dalam kekacauan itu.
Bang Tohir kecil diturunkan di sebuah kawasan yang jauh dari kota, saat itu pukul 17.00 WIB, ia menangis selama berjam-jam menyusuri jalanan, sudah tidak bisa dibedakan dengan gembel atau pengemis pinggiran. Perasaannya yang terluka mudah sekali untuk dirasuki rasa dendam, mulai saat itu Bang Tohir menyimpan rasa dendam pada Ibunya sendiri.
Sementara itu, Titik Pangakir memang benar-benar sengaja meninggalkan-Bang Tohir. Ibu paruh baya yang juga terluka karena rumah tangga dan kekacauan hidupnya itu rela menelantarkan anaknya sendiri tanpa peniggalan satu pun barang berharga. Dia meninggalkan Tohir ketika perhentian di terminal Terboyo, Semarang. Pada saat itu sekitar pukul 15.00 WIB, ia turun dengan berhati-hati agar tidak diketahui anaknya dan tidak menimbulkan kecurigaan dari penumpang lain. Saat itu juga, Titik Pangakir kembali bertolak ke arah barat menuju asalnya. Peristiwa itu juga membuat Bang Tohir kecil mengalami pergulatan batin terhadap kepercayaannya dalam berketuhanan. Buah dari keegoisan orangtua terhadap anak adalah sebuah kehancuran hati. Bang Tohir bertekuk berada dalam pengasingan jiwa dan raga. Beberapa hari ia hidup sebatangkara di jalanan yang tak tahu arah melangkah, tidur di tempat yang tak diinginkan dalam selimut dingin mencekam, ia pun juga sudah kenyang rasa lapar.
Suatu hari dimana banyak orang berlalu lalang dihadapannya dengan ketidak pedulian dan tatapan geram, ada seorang pemuda yang berprofesi sebagai preman jalanan bertubuh kekar berusia tiga puluh dua tahun berjulukan Rambo menemukannya sebagai seorang anak yang bisa dimanfaatkan. Bang Tohir hanya memiliki dua pilihan antara hidup penuh penderitaan seperti sekarang atau mencoba menguranginya. Sejak saat itu Bang Tohir ingin menuai hidupnya sebagai kawanan preman mengikuti jejak Rambo sebagai ayah angkatnya.
Rambo sangat menyukai keuletan Tohir, dari hari ke hari dia selalu bekerja keras dan mau belajar untuk menjadi pemuda yang tangguh pemberani. Meskipun suatu pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan kotor, acapkali Tohir tidak memperdulikan hal itu, baginya ini hanya sebuah urusan menjalani nasib. Rambo juga memberikan fasilitas pendidikan kepada anak angkatnya itu. Tohir mengerti bagaimana harus bersikap kepada Rambo, sebagai rasa terimakasih ia rela bekerja mulai dari mengurus rumah, apapun yang diperintahkan Rambo dilakukan dengan setulus hati.
Sepuluh tahun Rambo merasa mendapat berkat, karena kehidupannya yang kembali pulih dari masa kesepian dan kekosangan hati ketika Tohir hadir didalamnya. Ia memang merindukan teman hidup, namun hatinya sudah mati, ia sulit jatuh cinta kepada lawan jenisnya, bahkan dia tak pernah merasakan hal itu, hingga sekarang ia masih menggeluti pekerjaan ekstrimnya sebagai maling profesional yang tak pernah meninggalkan jejak kriminal untuk diketahui polisi.
Ketika hari beraksi segera tiba, Rambo menyusun rencana besar bersama Tohir yang tak terasa sudah beranjak tujuh belas tahun untuk maling di suatu Bank daerah Salatiga. Rambo sengaja mengajak Tohir dalam misi ini dengan penuh kepercayaan bahwasannya kemampuan Tohir dalam curi mencuri sudah sangat handal. Mereka beraksi pukul 01.00 dinihari, dengan pakaian serba hitam, topeng penutup kepala dan sepatu ket yang tak berbunyi ketika berjalan, semua peralatan keprofesionalisan tak ada yang tertinggal. Mulai menjalankan misi, menunggu satpam lengah, Tohir berjalan mengendap menyikap satpam dari belakang dengan sapu tangan berbius, dalam pos satpam itu dilihatnya beberapa monitor dari sambungan kamera pemantau, kemudian ia mulai disfungsikan seluruh kamera pemantau agar misinya tidak terdeteksi. Kode fisik diarahkan dari Tohir kepada ayahnya untuk segera memasuki Bank, Rambo mulai berjalan mengikuti arahan. Tugas Tohir memantau sekelilingnya adakah yang mencurigakan atau suatu hal yang bisa menggagalkan misi mereka, Rambo berusaha membuka pintu Bank dengan perlengkapan maling yang ia bawa. Tak kurang dari sepuluh menit, pintu dapat terbuka dengan mudahnya, memang tidak bisa diremehkan kemampuan seorang maling professional selama lebih dari duapuluh tahun.
Segera Rambo dan Tohir membuka brangkas yang biasa digunakan untuk penyimpanan uang, tak perlu berkepanjangan pula brangkas yang terkunci dengan kode angka bisa mereka buka kurang dari lima belas menit dengan menggunakan sinar infra merah mereka bisa mendeteksi rekam jejak kode angka tersebut. Mereka menemukan uang sejumlah tiga ratus juta rupiah, sungguh bahagia ala maling dirasakan. Uang-uang itu dimasukkan ke dalam koper kulit warna hitam yang sudah disiapkan, setelah semua misi selesai mereka kembali menyusun tempat pencurian menjadi rapi seperti tidak ada sesuatu yang terjadi.
Benar adanya, kala itu adalah misi yang paling besar karena mereka berhasil membawa kabur uang senilai tiga ratus juta rupiah. Sebelum mendapatkannya Rambo sudah terkenal kaya raya oleh tetangga sekitar, namun seorang anti sosial, bahkan Rambo juga tidak memiliki istri ataupun terlihat membawa wanita ke rumahnya. Tetangganya tidak tahu menahu bahwa seluruh harta Rambo adalah harta rampasan atau hasil maling selama bertahun-tahun, yang mereka tahu Rambo pernah mengaku sebagai pekerja lepas di situs online.
Sudah sepuluh tahun Rambo dan Tohir hidup bersama dan berkelimangan harta, mereka sering menghabiskan hartanya dengan mengunjungi tempat penjual minuman keras segala tipe. Hampir setiap malam mereka lewati dengan meneguk tak kurang dari lima botol besar minuman keras, adakalanya Tohir masih memiliki daya untuk mengendalikan diri disaat mabuk namun di usia yang tidak muda lagi Rambo seringkali tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang melemah, ia sering pingsan dan mengharuskan Tohir membawanya pulang dengan kondisi seperti sekarat. Sesampainya di rumah, Tohir meletakkan tubuh yang lemah itu itu di kamar, ia pandangi wajah ayahnya dirasa lebih tua dari usia aslinya, ya wajar, pengaruh perokok aktif dan peminum minuman keras. Ia mulai memikirkan ayah kandungnya, dan bertanya-tanya dalam hati “dimana ayah sekarang, mengapa tega meninggalkanku?” dendamnya mulai tumbuh kembali setelah bertahun-tahun melampiaskan kenangan pahit kehidupan.
Tohir mulai menciptakan ambisi murka, ia ingin mencari ayahnya agar dapat membalaskan bara dendam dalam hatinya yang membeku. Saat itu Tohir berencana ingin berkelana untuk menemukan ruang dimana ia bisa menemukan ayah kandungnya, sudah tertancap dalam hatinya sebuah tekad untuk pembalasan sengsara. Tohir mulai mengemasi barang-barang untuk kemudian pergi menyusur seluruh kota yang tidak tahu pasti, ia yakin memiliki daya perasa yang kuat untuk arah langkah pembalasannya.
Tohir yang berumur tujuh belas tahun dan baru saja lulus dari bangku SMA itu memang secara fisik tumbuh normal seperti anak laki-laki lain, namun pemikirannya sudah lebih dewasa dari usianya, jika dijabarkan kira-kira sudah lima kepribadian terdeteksi dari sosok tersebut. Kehidupan sekolahnya juga normal, bahkan ia sangat cerdas dalam pelajaran eksak, Tohir memang sudah dikaruniai kepandaian tanpa harus belajar terlalu berat, pun juga sangat lihai melakukan aksi kejahatan, menyembunyikan sesuatu sebagai profesionalis maling. Kelebihannya itulah yang membuat Rambo mencintainya layaknya ayah kandung sendiri, bahkan lebih.
Malam itu ketika Rambo tertidur lemas di atas ranjang, Tohir mengambil selembar kertas dan mulai menuliskan beberapa kata dalam surat perpisahan untuk orang tua angkatnya, demikian tulisnya “Pak, saya sangat beruntung bertemu denganmu. Waktu itu saya tidak memiliki apa-apa, saya sudah di ambang padam untuk meneruskan kehidupan, tapi Kau hadir seperti malaikat. Terimakasih untuk segala kebaikan dan pelajaran mempertahankan hidup yang luar biasa. Namun kau juga pernah berkata padaku bahwa mengikuti kata hati itu penting, sekarang saya menyadari bahwa hati saya yang beku ini sedang terkikis sakit hati dari kehidupanku di masa silam. Saya ingin segera menyelesaikannya sebelum hidup terlalu lama, agar supaya saya bisa menjadi seorang yang kau andalkan. Saya mencintaimu, sampai jumpa kembali di waktu mendatang.”
Tohir meletakkan surat itu di atas meja kecil sisi kanan tempat tidur ayah angkatnya. Langkah kakinya mulai bertempo pelan menuju garasi menghampiri mobil klasik warna merah jingga volkswagen miliknya yang berhasil ia curi dari sindikat pencuri kelas kakap. Tohir mulai menghidupkan mesin mobilnya, mulai tancap gas pelan-pelan tak ingin mengangu kenyamanan tidur ayah angkatnya. Waktu menunjukan pukul 03.36 WIB, Tohir melaju ke arah barat dari Kota Salatiga menuju Jawa Barat.
------------------------------------------------------------------------------
            Tempat saat inilah yang dituju Bang Tohir kala itu. Bang Tohir membangun bilik-bilik kecil semacam kos-kosan berukuran 3x4 m, berjumlah 20 kamar  di kawasan Cileungsi. Bang Tohir membangunnya dengan sumber dana yang terkumpul dari kerja malingnya selama tinggal bersama ayah angkatnya Rambo. Sejak awal Bang Tohir sudah bertujuan membangun bilik-bilik itu sebagai tempat untuk menampung kawanan manusia kurang beruntung dari peradaban yang bernasib mirip sepertinya dan menularkan kemampuannya sebagai maling professional tanpa meninggalkan jejak kriminal. Itulah mengapa, tempat yang ditinggali Jiwangga sekarang berisikan orang-orang yang berprofesi sebagai “maling”.  Demikianlah cerita Bang Tohir pada malam itu berada di tengah-tengah suasana penyambutan Jiwangga.
            Menurut penglihatan Bang Tohir yang sekarang sudah berusia tiga puluh tahun. Jiwangga adalah sosok yang lemah namun memiliki kualitas melanjutkan hidup yang baik, karena ia memiliki keahlian di bidang tertentu, hal itu mengingatkan dirinya di masa lalu, Jiwangga hadir sebagai refleksi hidupnya di sisi berbeda, itulah mengapa Bang Tohir memperbolehkan Jiwangga untuk tinggal di tempatnya.
Bang Tohir adalah sosok preman yang di segani oleh kawan-kawan, ia sudah dianggap sebagai punggawa dan pemimpin mereka. Memiliki beberapa kepribadian yang sanggup ia kendalikan menjadikannya dikenal banyak oleh lapisan masyarakat dan berkat kemampuan bersosialisasinya yang sangat baik, profesinya sebagai maling tidak pernah diketahui oleh masyarakat sekitar.  
Jiwangga adalah satu-satunya manusia tanpa pengalaman menjadi maling yang diterima Tohir untuk tinggal di biliknya. Malam itu dengan sengaja Bang Tohir mengajak si kembar Joki & Beki, serta Palo yang sedang tidak melakukan pekerjaan untuk menyambut Jiwangga sebagai serdadu baru, sekaligus memberi pengarahan untuk memahami aturan-aturan yang harus dilakukan ketika tinggal disitu.
Sambil menerka-nerka hal yang tidak tentu dalam pikiran Jiwangga, kadang diselimuti ketakutan, kadang keceriaan, kadang kegaduhan, ia seperti dipermainkan secara emosional. Meneguk botol-botol miras yang dibawakan, pikirannya semakin tak tentu arah namun bercampur dengan perasaan loyalitas yang tinggi dari teman-teman barunya itu.
Malam itu mereka mabuk berat sampai tidak sadarkan diri, tertawa dan berteriak kencang seperti ada pula yang buang tinja di dalam celana, tubuh mereka tergeletak memenuhi kamar tinggal Jiwangga, posisinya malang melintang, entah, kondisi kepala sungguh tidak karuan, Jiwangga yang pertama kali bangun kala itu hanya menghirup bau tak sedap dari tinja temannya yang tidak terkontrol lagi ia keluarkan di dalam celananya.
Ayam berkokok, sapa matahari yang sinarnya sudah mencium peraduan, tentunya mereka masih tidak terkondisikan, ruang kamar terlihat sudah seperti kandang ayam, bertebaran kulit kacang, bau miras yang menyengat dan botol-botol oplosan itu nampak berceceran.
            Kumpulan serdadu antidisiplin selalu mengkreasikan karakter dan memupuk keahlian mencuri ketenangan. Kadang satu bibit kebaikan di tanah kejahatan tidak  mampu tumbuh dengan cepat, perlu waktu yang cukup lama untuk tumbuh dan menjadi rindang supaya memberi keteduhan. Kalau memang baik, kesabaran pasti akan selalu membersamai.












Jakarta, Metropolitan
3 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROSPEKSI

ADA APA APRIL

DILEMATIS