JIWANGGA


Jiwangga, pegiat malam yang tak pernah mengerti hak dan kewajiban sendiri, itu tidak baik untuk kehidupan berumah tangga, artinya tidak memiliki masa depan cemerlang. Kelam kemudian mati perlahan. Akulah Jiwangga, yang selalu bingung dengan bagaimana caranya berdoa, terlalu banyak badai yang berkecamuk di dalam rasa dan batin, datang dari berbagai macam sudut pandang yang menyatu sendiri memaksaku untuk mengerti.
Tak pernah berjumpa siang, kehidupan setiap hari selalu begini. Habis semalam, kupakai untuk membuat lukisan sepasang kekasih seharga tiga ratus ribu rupiah. Habis semalam pula kupakai untuk memuaskan nafsu duniawi. Kau pikirlah saja sendiri, ketika ada gadis yang kian malam kian menggodanya, cantik jelita, berambut panjang dan bergelombang, bertubuh seksi bak lekuk gitar spanyol. Selalu nampak pada beranda pencarianku di internet atau daring ketika menjelang tidur, kusebut sebagai pemuasan nafsu dunia nyata melalui dunia maya dari seorang laki-laki perjaka yang ingin menunjukkan kejantanan (imajiku pada malam ke-113 masturbasi) aku tidak menghitung berapa kali sudah melakukan itu, tetapi ini adalah bulan ketiga setelah aku pindah dari tanah kelahiran.
            Siang hari, bangun pagi dari tidurku, beranjak dari kasur busa yang tipis tanpa sprei, aku biasa menyebut siang sebagai pagi, dan pagi sebagai malam. Orang lain mengatakan aku terlalu sibuk dengan waktu dan dunia sendiri, itu benar dan aku menyukai hal itu.
Kuambil selembar kertas pada susunan paling bawah rak buku di sudut kamar tidurku yang tidak ada buku namun tampak amburadul oleh karena ketidakwarasan jiwaku saat malam hari, segala perkakas lukis kuletakkan dengan sembarangan di dalamnya, semacam kaleng cat, kuas segala ukuran, dan beberapa palet yang sebagian besar belum di cuci. Aku mulai duduk di kursi kayu fasilitas kamar kelas bawah yang aku kontrak sejak 3 tahun lalu, dengan wajah lusuh masih belum terima atas waktu bangunku, aku memegang putung rokok dalam himpitan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiriku yang kutopangkan pada lutut kaki kiri diatas kursi, tangan kanan memegang pena dengan tinta yang agak macet berwarna biru kemudian mulai menulis rencana hari ini diiringi suara lisanku mengeja tulisan, termasuk mengaji. Ah tidak, bercanda, hari ini aku hanya bisa melukis dan menyisakan waktu untuk kekasihku di dunia nyata, meski hanya memikirkannya terlalu sering, tidak ada waktu untuk hal lain, karena keduanya memerlukan proses yang menggunakan keseimbangan pikiran, hati, dan tenaga agar tetap seirama.
            Melukis untuk orang lain adalah kegiatan yang  kulakukan hampir setiap hari, cukup untuk sekadar bisa makan malam bersama kekasihku. Bapakku memang pelukis sekaligus seorang pemain dawai orkestra musik keroncong, tapi Bapak tidak pernah mengajariku melukis, aku selalu ingat kata-kata terakhir yang Bapak sampaikan kepadaku di usia 9 tahun, seusai makan malam sambil membawa teh hangat ke ruang tengah yang penuh koleksi buku-buku klenik milik Eyangkung, sewaktu aku menceritakan kepadanya bahwa aku ingin menjadi Seniman seperti Bapak. Bapak berkata “setiap orang adalah Seniman,  Seniman yang sesungguhnya, ketika yang dimaksud seni adalah sesuatu yang bersifat keindahan, maka setiap orang tentu bisa melakukannya, dari hal-hal sederhana saja, misalkan membuang sampah pada tempatnya akan menciptakan keindahan alam, berbuat baik kepada orang lain akan menciptakan keindahan sosial, dan segala macam kebaikan yang kita perbuat akan berujung pada keindahan citra kita. Kamu sanggup jadi Seniman ?” termasuk pertanyaan terakhir yang Bapak sampaikan kepadaku, aku selalu mengingatnya, aku tidak menyangka Bapakku bisa berkata demikian, Bapak yang kukenal adalah sosok yang dingin, selalu banyak diam dan menjawab hanya seperlunya saja. Bapakku juga tak pernah mengajariku mengaji atau berdoa, tetapi selalu menyuruhku untuk merenungkan kepada siapa berdoa, sampai kelak benar-benar mengerti dan paham untuk mengapa, apa, siapa, bagaimana, kapan, dan dimana sebenarnya berdoa dan untuk apa sebenarnya doa berucap. Waktu itu Bapakku yang bernama Joko Samudra sedang dirawat di Rumah Sakit karena kerusakan parah pada paru-parunya (bronkitis kronis), dulu di usia yang masih anak-anak aku tidak begitu paham akan hal itu, Bapakku Joko Samudra memang lama batuk keras, dan bisa dimaklumi karena beliau adalah seorang perokok aktif selama 25 tahun lebih, belum lagi minuman alkhohol yang sering ia tengguk setiap hari sebagai pelampiasan atau untuk sekadar menghilangkan sakit hati setelah ditinggalkan istrinya. Ya, Ibuku, yang memiliki nama Remang Gempita dan biasa dipanggil Bu Rema itu tega meninggalkan kami sekeluarga ketika kondisi ekonomi Bapak Joko Samudra tidak stabil, penghasilan hanya bergantung pada lukisan yang terjual, Ibuku selalu marah dan sering mengeluhkan kehidupannya bersama Bapak, bahkan sering berkata tidak kuat menghadapi kemiskinan keluarga. Kehidupan keluarga yang Bapak jalani memang pahit, akupun tidak memiliki hubungan yang baik kepadanya ketika beranjak dewasa, karena karakter Bapakku yang tertutup dan pendiam membuat komunikasi antara bapak dan anak menjadi buruk, tapi dibalik semua itu Bapak Joko Samudra memiliki hati yang lembut, sering sewaktu pulang sekolah aku menemukan Bapakku sedang memberikan uang kepada pengemis jalanan, memberi makan pada orang gila, membantu tuna netra, dan memungut sampah yang berserakan di jalan. Mungkin ada banyak hal baik lagi yang telah Bapak lakukan yang membuatnya tidak cepat kaya dan makmur, tak ada angin tak ada hujan, udhu sanak udhu kadhang selalu saja ada orang lain yang membutuhkan yang Bapak pikirkan, hingga menghembuskan nafas terakhir di usia 42 tahun.
---------------------------------------
            13 November 2016, usiaku genap dua puluh tiga tahun, selama empat belas tahun pula aku hidup bersama Pamoring Pambudi, lelaki paruh baya berwajah bulat karakter serius dengan perut buncit, kulit kuning langsat, ada pula setitik tahi lalat di ujung hidungnya yang kata orang pembawa keberuntungan. Pamoring Pambudi adalah seorang terpandang di wilayahnya, ia mengaku pernah ditolong oleh Joko Samudra dan ingin membalas budi dengan merawatku sampai mendapat kehidupan yang mapan. Mulai usia 9 tahun, aku hidup serba kecukupan dan mendapatkan perhatian sama seperti anak mereka sendiri, aku tidak lagi malu mengakui mereka sebagai orangtua, rasanya tak seperti waktu aku duduk di bangku kelas 1 dan 2 SD ketika maju ke depan untuk perkenalan aku selalu merasa malu dan bingung bagaimana menceritakan keluargaku. Karena, keluargaku sangat jauh sekali jika harus dipaksakan untuk masuk dalam kategori “pengertian keluarga sejati”.
Aku juga hidup rukun bersama anak laki-laki dari bapak angkatku yang bernama ‘Abhisar’, sifatnya banyak meminta dan selalu dituruti, kebiasaannya pun menular kepadaku. Kamipun dikenal sombong dan nakal sewaktu SMA. Sering menghabiskan uang untuk bersenang-senang bersama. Meskipun demikian orangtua angkatku tidak pernah mengeluh dan marah kepada kami. Bapak Pamoring Pambudi adalah seorang pejabat pemerintah tingkat provinsi, dan Ibu angkatku bernama Titian Megantari yang selalu nampak elegan bisa juga dikategorikan sebagai sosialita, merupakan seorang Rektor di Perguruan Tinggi Swasta di daerah kami tinggal, kami hanya bisa bertemu setiap jam sarapan dan makan malam, selebihnya hanya sekelibat saja. 13 November juga  menjadi tanggal yang sangat kutunggu, karena setiap ulang tahunku Pamoring Pambudi beserta istri selalu memberikan hadiah. Setelah tahun kemarin mereka membelikan mobil  sekaligus sebagai hadiah wisudaku lulus Strata I dengan gelar Sarjana Hukum. Tahun ini mereka memberiku apa ya? Pikirku dalam hati, hari itu aku sudah memikirkan beberapa barang-barang mahal.
Siang hari, kulihat jam dinding berukir motif bunga menempel pada sisi samping tembok ruang tamu, yang menunjukkan sekitar pukul 13.00 WIB, ia mendengar dengan jelas suara detik jam itu hingga menyadari  bahwa hanya aku saja yang tinggal dirumah, menurut laporan pembantuku, Abhisar sedang pergi bersama kekasihnya.
Ketika bersantai sambil menikmati musik rock dengan volume suara yang sangat keras, suara ketukan pintu pertama tidak terdengar olehku dalam waktu yang cukup lama, pasukan berseragam di depan pintu itu sudah tidak sabar, mereka mengetuk keras-keras dengan perasaan kesal. Suara ketukkan pintu mulai samar-samar  terdengar, kuputar volume musiknya, dan benar aku mendengar ada yang mengetuk suara pintu, saat bersamaan pembantu di rumah juga mendengarnya dan ingin membukakan pintu, berhubung aku sangat menantikan kehadiran keluarga angkatnku di hari ulang tahun saat itu, aku menghendaki untuk membuka pintu sendiri. Dengan sumringah dan perasaan yang gembira aku berjalan menuju ke arah pintu kemudiaan membukanya.
Ternyata bukan ayah ibu yang datang, tiga orang polisi datang dan mencari orangtua angkatku, aku masih mengira bahwa itu adalah bagian dari kejutan, kupersilakan ketiga polisi itu untuk masuk, salah satu anggota polisi itu mengawali pembicaraan dengan nada bicara yang agak menghardik.
Polisi itu mulai menjelaskan bahwa Pamoring Pambudi dan Titian Megantari adalah tersangka kasus korupsi, mereka menunjukan segala macam bukti-bukti kuat yang menyebutkan bahwa Bapak Pamoring Pambudi beserta istrinya telah bersekongkol melakukan tidak pidana korupsi dana pemerintah untuk beasiswa Perguruan Tinggi.
Awalnya aku belum mempercayai hal itu, karena aku tidak menemukan raut ganjil dari orangtua angkatku selama ini, mungkin saja aku kurang peka atas semua keadaan. Aku juga ikut digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, beberapa saat kemudian polisi berhasil membawa orang tua angkatku, mereka ditangkap sewaktu masih bekerja di tempat kerja masing-masing tanpa pemberitahuan. Mereka hanya menunduk malu, memandangku dengan mata berkaca, seakan ada harapan yang bisa diperbuat kepada mereka.
Aku sama sekali tidak mengira, aku mengira semua kekayaan yang diberikan padaku dan Abhisar murni berasal dari kerja keras mereka. Waktu itu aku merasa sangat malu, orangtua angkat yang pernah dibangga-banggakan adalah seorang koruptor, tak bisa dipungkiri pula mereka melakukan itu demi menyenangkan hati Jiwangga dan Abhisar, anak-anak kesayangan mereka. Semua harta disita termasuk rumah. Seketika aku beserta adik angkatku jatuh miskin tidak mempunyai tempat tinggal, mobilku pun aku jual untuk membayar sebagian denda, tinggalah aku dan saudara angkatku Abhisar tanpa harta yang berarti, setelah peristiwa itu Abhisar berseteru denganku, ia tidak mau tinggal bersama-sama denganku, dalam benaknya Jiwangga adalah orang yang hanya bisa meminta-minta. Abhisar memutuskan untuk pergi ke Sumatra dengan modal hutang kepada kekasihnya dan Jiwangga tetap disana di Tanah Jawa, Kota Sejuta Bunga.
-----------------------------------
            Bilik kecil, tempat tinggalku sekarang, disini akan kumulai dengan lukisan, menyelinap masa lalu untuk mencapai tujuan lebih cepat, aku hanya perlu pemikiran yang ramping, ringan, dan gesit. Pertanyaanya, apa tujuan hidupku? memuja Tuhan pun tak pernah disebutkan sepanjang cerita ini.
            Seorang gadis berwajah lugu menolongnya saat akusedang mencari tempat tinggal, kusebut gadis itu sebagai malaikat. Katanya kepadaku sewaktu aku lega karena mendapatkan tempat tinggal sementara, sambil tertawa manis “Ya ini cara Tuhan menolong Mas Jiwangga, melalui saya” dari situlah Jiwangga mulai memikirkan Tuhan, sering tapi tak terarah. Mulutnya sedalam hati enggan mendefinisikan Tuhan, tak bisa dijelaskan, kepantasan sedang dalam proses meniadakan ukara itu. Jiwangga hanya ingin memberanikan diri membuka hati untuk kalimat-kalimat sejuta tafsir, yang dirasa sudah terlalu tua baru mencari-Nya.





Magelang, Kota Sejuta Bunga
Penghujung tahun 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DANCING IN THE RAIN (Ulasan Film Indonesia)

JIWANGGA DAN KAWAN

DILEMATIS