DANCING IN THE RAIN (Ulasan Film Indonesia)

Dua hari lalu, tepatnya tanggal 18 Oktober, film Indonesia berjudul Dancing In the Rain mulai tayang di Indonesia, salah satu pemain film tersebut adalah aktor favorit saya, yaitu Deva Mahenra. Saya memiliki minat khusus untuk menonton film ini karena ada dia (Deva Mahenra). Membahas sedikit mengenai Deva Mahenra yang selalu bermain apik dalam setiap filmnya, juga sangat menarik hati untuk tak di pandang sebelah mata atas kemampuan main perannya, rata-rata karakter yang ia dapat adalah karakter protagonis, dan saya melihat ada satu karakter yang melekat pada Deva Mahenra yaitu romantis.

Film ini adalah salah satu film beralur mundur yang membuat saya menangis sepanjang cerita, dari pertama kali film ini di putar (prolog) yang menceritakan seorang anak berkebutuhan khusus (cacat psikis) tinggal bersama Eyang Uti tanpa kasih sayang Ibu dan Ayah kandungnya yang tidak mau menerima keadaan.

Dikisahkan, Banyu (Dimas Anggara) yang sejak kecil dirawat dengan penuh kasih oleh Eyang Uti (Christine Hakim) yang sabar dan baik hati. Eyang sangat mengasihi Banyu dan selalu menganggap Banyu sebagai cucu kesayangannya yang patuh, dan jenius. Namun, Eyang harus menerima kenyataan bahwa Banyu memiliki keterbatasan psikis yang dinamakan dengan Autis Spectrum Disorder. Memang selama ini Banyu terlihat bertingkah laku berbeda dengan anak-anak lainnya, dia seperti memiliki dunia sendiri, selalu mengulang-ngulang gerakan tubuh yang tidak penting, dan sering tidak merespon ketika dipanggil namanya. Beruntungnya, Banyu memiliki Eyang Uti yang dengan sabar melatih Banyu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, Eyang Uti sadar bahwa Banyu memiliki kecerdasan di atas rata-rata, hingga ia sering mendapatkan kejuaraan sains tingkat nasional dan banyak mengoleksi piala serta medali.

Dalam perjalanannya menuju dewasa, Banyu memiliki dua sahabat yang sangat dekat bernama Radin (Deva Mahenra) dan Kirana (Bunga Zainal), walaupun persahabatan mereka dilarang keras oleh Ibu Radin yang tidak menyukai tingkah laku Banyu, karena menganggapnya selalu membuat ulah atas keterbatasan yang dimilikinya, serta Kinara yang selalu merepotkan Banyu karena sering sakit-sakitan. Namun, Banyu tak pernah menghiraukan larangan Ibunya, ia tetap nyaman dan merasa harus bisa menjadi pelindung bagi Banyu, pun bagi Kinara.

Ketika dewasa, ketiganya semakin harmoni menjalin hubungan persahabatan, Radin dan Kinara juga saling mencintai, namun mereka tak pernah mengesampingkan Banyu. Mereka selalu bisa menyempatkan diri untuk ada di setiap momen penting masing-masing.

Pada akhirnya, Kinara dengan penyakit (meningitis) yang di deritanya sejak kecil harus menerima kenyataan bahwa jika ia mengalami stress atau beban pikiran sedikit saja daya tahan tubuhnya semakin menurun dan hidupnya tidak akan lama lagi. Sebagai orang yang mencintai dan menyayangi Kinara, Radin merasa sangat sedih, ia hanya bisa berusaha untuk selalu membuat Kinara bahagia.

Kinara sempat menghubungi Radin untuk membicarakan kondisinya, namun ketika Ibu Radin masuk kamar Radin, diam-diam (tanpa sepengetahuan Radin) mengangkat telfon dari Kinara dan mengatakan kebenciannya pada Kinara yang dianggap sebagai beban bagi Radin, ia menyuruh Kinara untuk tidak mendekati dan berhubungan dengan Radin lagi. Hal itu membuat Kinara semakin sedih hingga masuk rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Ibu Radin mempunyai misi untuk tidak membiarkan anaknya bergaul terus-menerus dengan anak berkebutuhan khusus, sore itu juga Ibu Radin mendatangi rumah Eyang Uti untuk memberi pelajaran kepada Banyu. Ketika bertemu Banyu, Ibu Radin memperlakukan Banyu dengan tidak etis, ia menarik-narik dan memukuli Banyu, ketika Banyu mencoba menyelamatkan diri, Ibu Radin tersungkur ke tanah. Peristiwa itu dilihat oleh Radin ketika akan berkunjung ke rumah Banyu. Radin pun marah kepada Banyu dan segera menolong Ibunya yang jatuh, ia berhasil dibuat salah paham oleh Ibunya.

Hari itu, seharusnya Kinara datang di pertandingan final basket Radin, tentu bersama dengan Banyu, namun Banyu tidak diperbolehkan memasuki stadion karena ulahnya kemaren yang sempat membuat ribut di lapangan basket. Akhirnya Banyu hanya bisa melihat dari pintu masuk stadion. Waktu itu Radin sempat melihat sekeliling kursi penonton, ia tidak melihat kedatangan sahabatnya. Ia sempat mengkhawatirkan sahabat-sahabatnya ketika bertanding, namun naas, ditengah-tengah pertandingan ia tiba-tiba jatuh tergeletak. Banyu yang melihat Radin dari kejauhan berteriak-teriak meminta pertolongan. 

Radin di bawa ke Rumah Sakit dalam kondisi tidak sadarkan diri, Banyu menangis dan bersedih sepanjang perjalanan, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Sesampainya di rumah sakit Banyu memberi kabar kepada Eyang Uti tentang kondisi Radin. Eyang Uti segera memberi tahu Ibu Radin, tak disangka Ibu Radin menyalahkan Banyu atas peristiwa yang dialami Radin. 

Setelah pemeriksaan, ternyata Radin mengalami gagal jantung, penyakit keturunan yang berasal dari Ayahnya yang sudah meninggal 10 tahun lalu. Dokter menyampaikan bahwa Radin harus segera menerima implantasi jantung, jika tidak nyawanya tidak akan tertolong lagi. Ibu Radin benar-benar sangat sedih, bisakah anak kesanyangannya dan satu-satunya tertolong.

Banyu merasakan kesedihan mendalam, sampai ia tidak bisa tidur dan harus di timang oleh Eyangnya, malam itu Banyu memutuskan untuk memberikan jantungnya untuk Radin, ia menuliskan pesan singkat di dalam secarik kertas; 

Banyu adalah airair adalah sumber kehidupanBanyu ingin menjadi sumber kehidupanbagi Radin 

I Give My Heart to My Brother Forever Radin
Malam itu juga, Banyu berpamitan dengan Eyang Uti yang masih dalam posisi tidur. Eyang Uti tidak menyadari Banyu meninggalkan rumah malam itu dan bertekad ke rumah sakit untuk mendonorkan jantungnya. Hujan deras di malam itu membuat Banyu semakin hanyut akan kenangannya bersama sahabatnya, ketika ia berjalan terkoyak-koyak, tiba-tiba Truk melaju kencang dan menabrak Banyu. Ia dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong lagi. Eyang Uti yang mendapat kabar duka itu segera menuju rumah sakit, diberikannya surat kecil yang dibawa Banyu sebelum meninggal. Eyang Uti sangat sedih kehilangan cucu kesayangannya, namun sebagai orang yang tawakal ia ikhlas menerima peristiwa ini.

Eyang Uti ingin menyampaikan pesan yang ditulis Banyu, ternyata Ibu Radin lebih dulu mendapat kabar atas meninggalnya Banyu karena dalam penanganan Rumah Sakit yang sama, dokterpun menyarankan untuk mendapat donor jantung dari Almarhum Banyu.

Ibu Radin merasa sangat bersalah, dan menyadari kekeliruannya selama ini. Ia memohon maaf kepada Eyang Uti, dan meminta pertolongan padanya. Eyang Uti menyadari bahwa ini semua juga kemauan Banyu. Akhirnya operasi implantasi dari jantung Banyu ke jantung Radinpun berhasil di lakukan.

Esok harinya Radin boleh melakukan perawatan intensif di rumah, sehingga dia bisa pulang hari itu juga. Sebelum sampai rumah, Radin berkeinginan untuk mampir ke rumah Eyang Uti terlebih dahulu. Namun ketika sampai di depan rumah, Radin tidak menemukan Eyang Uti dan Banyu ada di dalam rumah, justru plakat bertuliskan "Rumah Ini dikontrakkan" yang terpasang di pagar depan.

Radin masih belum menyadari bahwa ia bisa hidup karena ada sebagian jantung Banyu di dalam tubuhnya. Ketika melihat pengumuman kejuaraan Olimpiade terakhir yang diikuti Banyu, dan disiarkan langsung di sebuah stasiun televisi,yang terang-terangan menyebutkan Banyu sebagai Juara I Olimpiade serta menyebut Banyu sebagai Pahlawan bagi sahabatnya karena rela menyerahkan jantungnya, seketika Radin meneteskan air mata, ia membuka kancing bajunya, dilihatnya bekas jahitan di dadanya, ternyata benar adanya, Banyu memberikan jantungnya untuk Radin, ia membuka tulisan Banyu yang di tulis pada secarik kertas itu, hatinya makin tersayat karena pengorbanan sahabatnya, ia menangis dan berduka. Ibu Radin pun merasa menyesal dan memohon maaf pada Radin atas perbuatannya.

Eyang Uti memutuskan untuk pindah ke Yogjakarta, tempat asalnya dulu, membawa semua barang Banyu, dan selalu mendoakan Banyu.

Kinara yang sekarang tak bisa berjalan lagi juga merasakan duka yang mendalam atas kepergian Banyu apalagi jiwa pahlawannya kepada Radin. Kinara dan Radin bersama-sama mengunjungi makam Banyu dan mendoakan Banyu.

Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
(Yohanes 15:13)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROSPEKSI

ADA APA APRIL

DILEMATIS