Dua hari lalu, tepatnya tanggal 18 Oktober, film Indonesia berjudul Dancing In the Rain mulai tayang di Indonesia, salah satu pemain film tersebut adalah aktor favorit saya, yaitu Deva Mahenra. Saya memiliki minat khusus untuk menonton film ini karena ada dia (Deva Mahenra). Membahas sedikit mengenai Deva Mahenra yang selalu bermain apik dalam setiap filmnya, juga sangat menarik hati untuk tak di pandang sebelah mata atas kemampuan main perannya, rata-rata karakter yang ia dapat adalah karakter protagonis, dan saya melihat ada satu karakter yang melekat pada Deva Mahenra yaitu romantis. Film ini adalah salah satu film beralur mundur yang membuat saya menangis sepanjang cerita, dari pertama kali film ini di putar (prolog) yang menceritakan seorang anak berkebutuhan khusus (cacat psikis) tinggal bersama Eyang Uti tanpa kasih sayang Ibu dan Ayah kandungnya yang tidak mau menerima keadaan. Dikisahkan, Banyu (Dimas Anggara) yang sejak kecil dirawat dengan penuh kasih oleh Eyang Uti (...
Ceriteranya, di Padepokan Negeri Semarang (seperti judul buku milik teman yang baru rilis) beberapa mahasiswa dengan sangat giat mencari dosennya dan bersikeras untuk menjalin hubungan yang baik agar mendapatkan nilai bagus atau motivasi tertentu, sebagian lagi berjalan dengan apa adanya, bersantai namun tetap bertanggunjawab dengan tugas-tugasnya, sebagian yang lebih minoritas lagi ada mahasiswa yang sering absen sampai tidak pernah masuk kuliah, karena jera dengan perlakukan menyudutkan atau pelajaran atau hal-hal lain (gono-gini) yang membuatnya menjadi semakin takut ketika harus berangkat mengikuti perkuliahan. Mungkin, bagi mayoritas akademisi hal ini bukan suatu masalah, dan mereka menyebutnya sebagai cambukkan bagi mahasiswa untuk maju dan berkembang. Tanpa memikirkan latar belakang atau kekuatan mental setiap orang yang berbeda-beda. Ketika saya mencoba memposisikan diri sebagai dosen yang tanpa disadari membuat mahasiswanya jera, saya juga tidak bisa berbuat banyak, toh yan...
Gambaran strereotip mengenai jenius kreatif yang mengonsumsi narkoba, mabuk dan berganti-ganti pasangan itu sudah basi. itu hanya untuk orang-orang yang ingin mati muda. Intinya: menjadi kreatif butuh banyak energi. Kamu takkan punya energi itu jika dihabiskan dengan hal lain. Saya sudah mulai tertarik dan mengenal seni sejak belasan tahun yang lalu, ketika saya kelas IV SD, entah mengapa waktu itu mendengar kata seni saja sudah membuat tertarik untuk menyimak atau menjalani lebih lanjut, seni pertama yang saya coba waktu itu adalah seni tari, memang ada ekstra kulikuler Seni Tari di sekolah, saya sempat mengikuti beberapa kali sebelum guru seni tari pindah, beliau mengatakan bahwa saya berbakat (itu adalah hal bahagia) dan berpesan pada saya agar mengikuti les atau kursus tari di tempatnya dengan registrasi Rp. 20.000,-. Keluarga serba kekurangan, apalagi waktu itu orang tua harus membiayai biaya sekolah dua saudaraku yang duduk di SMA dan SMP, tentu saya tidak berani meminta sejuml...
Komentar
Posting Komentar