PUASA DALAM KEPUASAN

"Tinggal di Indonesia adalah sebuah takdir, aku tidak bisa memilih tubuhku akan dilahirkan dimana, namun aku bisa memilih jiwaku akan pergi kemana."

Aku ingin mengajakmu untuk tidak memikirkan kepergian itu selalu menuju ke suatu tempat, tapi ubahlah pergi menjadi kepergian jiwa satu ke jiwa yang lain. Setelah itu, jika kita pergi dan memikirkan jiwa, maka yang tumbuh dalam pikiran kita adalah sebuah penilaian terhadap diri sendiri (self reminder); bagaimana kehidupan kita, pola pikir kita, seberapa banyak kesalahan yang pernah kita perbuat, dan beberapa waktu kemudian akan muncul injeksi abstrak tentang penebusan jiwa yang salah tersebut.

Bukan baru-baru ini Indonesia mengalami banyak musibah. Media massa memanfaatkan responden yang di era sekarang lebih aktif, ganas, rakus, bahkan radikal, untuk menaikkan potensinya sebagai penyampai berita hangat, terkini, dan terpopuler. Orang-orang jaman dulu menerima berita tidak secepat dan sepraktis sekarang, bahkan "kaum non terpelajar jaman dulu tidak berani membuat keputusan atau sebuah judgement terhadap suatu informasi yang mereka terima, selalu diadakan musyawarah mufakat yang menghadirkan kaum terpelajar sehingga informasi itu benar-benar nyata adanya" (Antonius Suharto:2019). Beda dengan masa kini, berita yang muncul sangat mudah di akses dalam banyak laman internet diterima oleh pengguna internet dan atau telepon seluler, yang semua kalangan masyarakat memilikinya. Kapasitas pemikiran kritis tiap orang berbeda-beda, sehingga dalam menyerap berita pun ada yang berpendapat pro dan tak luput juga pendapat kontra. Melalui hal tersebut, berita yang belum terjamin kebenarannya sangat cepat viral berkat konfrontasi perbedaan pemikiran si penerima berita yang tidak karuan jumlahnya.

Kembali mengenai proses menjiwai jiwa, terinspirasi dari sebuah film biografi Mahatma Gandhi seorang tokoh kemerdekaan India yang menempuh jalan damai dalam prosesnya memerdekakan jutaan rakyatnya yang ditindas dan dijajah. Mahatma Gandhi sedari muda sudah memiliki prinsip hidup dalam kebenaran dan keadilan, ia juga menjadi pemersatu ditengah panasnya perbedaan agama, ras, dan sosial. Ketika usianya sudah tidak muda lagi, ia ingin membaktikan diri kepada Sang Pencipta. Banyak permasalahan yang selalu muncul dan tak kunjung redam di negaranya terkait dengan perbedaan kaum dan praktik-praktik perebutan kekuasaan, namun ia selalu menjunjung tinggi "anti kekerasan" meski lawan mereka selalu menyerang dengan senjata dan pedang, tak satupun rakyatnya membalasnya dengan kekerasan. Mahatma Gandhi meyakini cinta kasih mampu mengalahkan segalanya, ditengah peperangan dan pertumpahan darah, ia memutuskan untuk memohon kepada Sang Pencipta supaya rakyatnya damai dan tidak terjadi perselisihan, cara yang dipakainya adalah berpuasa seharian penuh (tidak makan, tidak minum) selama berhari-hari. Puasa yang dilakukannya sungguh sesuatu yang meluluhkan hati banyak orang, berhubung usianya sudah sangat tua. Tidak diragukan ragi keimanan Mahatma Gandhi, jika belum berhenti pertikaian rakyatnya itu ia belum mau berhenti berpuasa, katanya "Tidak masalah, puasa hanya akan membuat badanku bertambah kurus. Aku melakukan ini supaya Sang Pencipta mendengarkan permohonanku. Aku ingin kalian berhenti berperang dan tidak saling membenci " . Hingga pada akhirnya semua rakyatnya berhenti berperang dan mengucapkan janji untuk tidak akan mengulanginya kembali.

Puasa memang suatu hal yang cukup sulit dilakukan bagi jiwa manusia yang belum matang. Kematangan jiwa terletak dari seberapa besar niatnya dan keyakinannya terhadap berkat berpuasa. Puasa secara umum adalah tidak makan dan tidak minum, tapi aku ingin kita memikirkan arti puasa secara luas atau subjektif. Aku mengenal puasa melalui ajaran agama, secara katolik puasa berarti menahan hawa nafsu serta meninggalkan keinginan duniawi, relevan dengan pengertian puasa oleh agama-agama lainnya, yang membedakan adalah tata caranya saja. Puasa memang sangat bertalian dengan keagamaan.

Pengalaman dalam mengelola uang (untuk usia 21 tahun ke atas), dewasa ini kebutuhan semakin meningkat, uang yang terkumpul dapat habis dalam sekejap. Kemudian kita tak tahu lagi harus meminta kepada siapa, mengeluh, sehingga jiwa kita menjadi melankoli (malas melakukan sesuatu). Hal inilah yang seharusnya kita sebut sebagai sumber kebaikan, kita diuji sebagai manusia biasa untuk melewati masa-masa sulit menjadi manusia luar biasa. Dari kekurangan ini kita telah melakukan banyak sekali praktik-praktik puasa; misalnya puasa untuk tidak membeli sesuatu, puasa untuk tidak berkata seenaknya karena kita terhimpit rasa kurang mampu, puasa untuk tidak sombong, dan puasa dari rasa memuaskan diri.

Praktik puasa ini bisa kita lakukan untuk hal-hal yang lain, misalnya puasa untuk tidak membagikan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi sesama kita, puasa untuk tidak membicarakan orang lain, puasa untuk tidak mengkritisi orang lain, dan banyak lagi puasa yang bisa kita lakukan sebagai manusia dewasa yang menginginkan kematangan jiwa.

Ranah ini aku sebut sebagai estetika jiwa, kita bisa melakukannya untuk tujuan membangun peradaban generasi milenial yang matang dan berkualitas secara sintaksis, ataupun hal lainnya dalam bertutur kata, berkomunikasi, serta membangun karakter. Sehingga, tidak mudah tergelincir dalam lubang-lubang ambisi tertentu. Indonesia perlu manusia berkarakter dan berbudi luhur, bukan hanya citra semata namun kualitas pribadi yang nyata.

"Puasa dalam kepuasan, akan memperluas kesadaran"







Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INTROSPEKSI

ADA APA APRIL

DILEMATIS